GERAKAN, KERJASAMA, DAN
INSTRUMEN INTERNASIONAL PENCEGAHAN KORUPSI
Guna memenuhi tugas
mata kuliah Pendidikan Anti Korupsi
Dosen Pengampu :UlinNafiah, SST, M.Kes
Disusun oleh:
1.
Asti Apriani (140001)
2.
Desi Nurianti (140002)
3.
Sri Munarsih (140008)
AKADEMI KEBIDANAN DUTA
DHARMA
T. A 2015/2016
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Pendidikan Anti Korupsi“ Gerakan, Kerjasama, dan
Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi” tepat pada waktunya.
Makalah
ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anti
Korupsi. Dalam kesempatan ini kami mengucapkan
terimakasih kepada:
1.
Ibu Sumami, SKM, M.Kes
selaku Direktur Akbid Duta Dharma.
2.
IbuUlinNafiah, SST, M.Kes selaku
dosen pembimbing.
3.
Orang tua kami yang
telah membantu secara moril maupun materi.
Beserta
teman-teman yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu. Semoga makalah ini
bermanfaat dalam pengembangan wawasan dan peningkatan ilmu bagi pembacanya.
Kami
menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini jauh dari kata sempurna, baik dari
segi penyusunan, bahasa, ataupun penulisan. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya membangun, khususnya dari dosen pembimbing guna
menjadi acuan dalam bekal pengalaman bagi kami untuk lebih baik di masa yang
akan datang.
Pati, September 2016
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
DEPAN ................................................................................. i
KATA
PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR
ISI .............................................................................................. iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang .............................................................................. 1
B. Tujuan
........................................................................................... 2
BAB
II PEMBAHASAN
A. Gerakan
Organisasi Internasional
a.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United
Nations)......................... 3
b.
Bank Dunia (World Bank)........................................................ 6
c.
OECD ...................................................................................... 7
d.
Masyarakat Uni Eropa.............................................................. 8
B. Gerakan Lembaga Swadaya Internasional (INTERNATIONAL
NGOs)
a. Transparency International........................................................ 9
b. TIRI (Making Integrity Work)................................................... 11
C. Instrumen
Internasional Pencegahan Korupsi
a. United Nations Convention against Corruption (UNCAC) .... 12
b. Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction 15
D. Pencegahan Korupsi Belajar Dari Negara Lain............................. 16
E. Arti Penting Ratifikasi Konvensi Anti
Korupsi Bagi Indonesia... 20
F. Hukuman Bagi Para Koruptor Di Berbagai Negara...................... 22
G. Contoh
Kasus ............................................................................... 23
BAB
III PENUTUP
A. Kesimpulan
................................................................................... 23
DAFTAR
ISI ..............................................................................................
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Korupsi
adalah salah satu masalah dan tantangan besar yang dihadapi oleh masyarakat
internasional pada saat ini. Korupsi tidak hanya mengancam pemenuhan hak-hak
dasar manusia dan menyebabkan macetnya demokrasi dan proses demokratisasi,
namun juga mengancam pemenuhan hak asasi manusia, merusak lingkungan hidup,
menghambat pembangunan dan meningkatkan angka kemiskinan jutaan orang di
seluruh dunia.
Keinginan
masyarakat internasional untuk memberantas korupsi dalam rangka mewujudkan
pemerintahan yang lebih baik, lebih bersih dan lebih bertanggung-jawab sangat
besar. Keinginan ini hendak diwujudkan tidak hanya di sektor publik namun juga
di sektor swasta. Gerakan ini dilakukan baik oleh organisasi internasional
maupun Lembaga Swadaya Internasional (International NGOs).
Berbagai
gerakan dan kesepakatan-kesepakatan internasional ini dapat menunjukkan
keinginan masyarakat internasional untuk memberantas korupsi. Gerakan
masyarakat sipil (civil society) dan sektor swasta di tingkat
internasional patut perlu diperhitungkan, karena mereka telah dengan gigih
berjuang melawan korupsi yang membawa dampak negatif rusaknya perikehidupan
umat manusia.
Menurut
Jeremy Pope, agar strategi pemberantasan korupsi berhasil, penting sekali
melibatkan masyarakat sipil. Upaya apapun yang dilakukan untuk mengembangkan
strategi anti korupsi tanpa melibatkan masyarakat sipil akan sia-sia karena
umumnya negara yang peran masyarakat sipilnya rendah, tingkat korupsinya akan
tinggi (Pope: 2003).
Ada
berbagai macam gerakan atau kerjasama internasional untuk memberantas korupsi.
Gerakan dan kerjasama ini dilakukan baik secara internasional melalui
Perserikatan Bangsa-Bangsa, kerjasama antar negara, juga kerjasama oleh
masyarakat sipil atau Lembaga Swadaya Internasional (International NGOs).
Sebagai lembaga pendidikan, universitas merupakan bagian dari masyarakat sipil
yang memiliki peran stategis dalam mengupayakan pemberantasan korupsi.
B. Tujuan
a.
Untuk mengetahui gerakan-gerakan internasional pencegahan korupsi;
b.
Untuk mengetahui kerjasama-kerjasama internasional
pencegahan korupsi;
c.
Untuk mengetahui beberapa instrumen internasional
pencegahan korupsi;
d.
Untuk mengetahui perbandingkan kelemahan-kelemahan dan
kelebihan-kelebihan pemberantasan korupsi di negara lain;
e.
Untuk mengetahuiarti
penting ratifikasi konvensi anti korupsi bagi indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Gerakan Organisasi Internasional
1.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations)
Setiap 5
(lima) tahun, secara regular Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations) menyelenggarakan
Kongres tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Penjahat atau
sering disebut United Nation Congress on Prevention on Crime and Treatment
of Offenders.
Pada
kesempatan pertama, Kongres ini diadakan di Geneva pada tahun 1955. Sampai saat
ini kongres PBB ini telah terselenggara 12 kali. Kongres yang ke-12 diadakan di
Salvador pada bulan April 2010. Dalam Kongres PBB ke-10 yang diadakan di Vienna
(Austria) pada tahun 2000, isu mengenai Korupsi menjadi topik pembahasan yang
utama.
Dalam
introduksi di bawah tema International Cooperation in Combating
Transnational Crime: New Challenges in the Twenty-first Century dinyatakan
bahwa tema korupsi telah lama menjadi prioritas pembahasan. Untuk itu the
United Nations Interregional Crime and Justice Research Institute (UNICRI)
telah dipercaya untuk menyelenggarakan berbagai macam workshop dalam rangka
mempersiapkan bahan-bahan dalam rangka penyelenggaraan Kongres PBB ke-10 yang
diadakan di Vienna tersebut.
Dalam
resolusi 54/128 of 17 December 1999, di bawah judul “Action against
Corruption”, Majelis Umum PBB menegaskan perlunya pengembangan strategi
global melawan korupsi dan mengundang negara-negara anggota PBB untuk melakukan
review terhadap seluruh kebijakan serta peraturan perundang-undangan
domestik masing-masing negara untuk mencegah dan melakukan kontrol terhadap
korupsi.
Pemberantasan
korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi-disiplin (multi-disciplinary
approach) dengan memberikan penekanan pada aspek dan dampak buruk dari
korupsi dalam berbagai level atau tingkat. Pemberantasan juga dilakukan dengan
mengeluarkan kebijakan pencegahan korupsi baik tingkat nasional maupun
internasional, mengembangkan cara atau praktek pencegahan serta memberikan
contoh pencegahan korupsi yang efektif di berbagai negara. Beragam rekomendasi
baik untuk pemerintah, aparat penegak hukum, parlemen (DPR), sektor privat dan
masyarakat sipil (civil-society) juga dikembangkan.
Pelibatan
lembaga-lembaga donor yang potensial dapat membantu pemberantasan korupsi harus
pula terus ditingkatkan. Perhatian perlu diberikan pada cara-cara yang efektif
untuk meningkatkan resiko korupsi atau meningkatkan kemudahan menangkap
seseorang yang melakukan korupsi.
Semuanya harus disertai dengan perilakusebagaiberikutini
:
a.
Kemauan politik yang kuat dari pemerintah (strong political
will).
b.
Adanya keseimbangan kekuasaan antara badan legislatif, eksekutif
dan peradilan.
c.
Pemberdayaaan masyarakat sipil.
d.
Adanya media yang bebas dan independen yang dapat memberikan akses
informasi pada publik.
Dalam Global
Program against Corruption dijelaskan bahwa korupsi dapat diklasifikasi
dalam berbagai tingkatan. Sebagai contoh korupsi dapat dibedakan menjadi petty
corruption, survival corruption, dan grand corruption.
Dengan
ungkapan lain penyebab korupsi dibedakan menjadi corruption by need, by
greed dan by chance. Korupsi dapat pula dibedakan menjadi ‘episodic’ dan
‘systemic’ corruption. Masyarakat Eropa menggunakan istilah ‘simple’
and ‘complex’ corruption. Menurut tingkatan atau level-nya korupsi
juga dibedakan menjadi street, business dan top political and financial
corruption. Dalam membahas isu korupsi, perhatian juga perlu ditekankan
pada proses supply dan demand, karena korupsi melibatkan
setidaknya 2 (dua) pihak. Ada pihak yang menawarkan pembayaran atau menyuap
untuk misalnya mendapatkan pelayanan yang lebih baik atau untuk mendapatkan
kontrak dan pihak yang disuap.
Dinyatakan
dalam Kongres PBB ke-10 bahwa perhatian perlu ditekankan pada apa yang
dinamakan Top-Level Corruption. Berikut dapat dilihat pernyataan
tersebut:
Top-level corruption is
often controlled by hidden networks and represents the sum of various levels
and types of irregular behavior, including abuse of power, conflict of
interest, extortion, nepotism, tribalism, fraud and corruption. It is the most
dangerous type of corruption and the one that causes the most serious damage to
the country or countries involved. In developing countries, such corruption may
undermine economic development through a number of related factors: the misuse
or waste of international aid; unfinished development projects; discovery and
replacement of corrupt politicians, leading to political instability; and
living standards remaining below the country’s potential (Tenth United Nations
Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Vienna, 10-17 April 2000).
Melihat
pernyataan di atas, masyarakat internasional menganggap bahwa top-level
corruption adalah jenis atau tipe korupsi yang paling berbahaya. Kerusakan
yang sangat besar dalam suatu negara dapat terjadi karena jenis korupsi ini. Ia
tersembunyi dalam suatunetwork atau jejaring yang tidak terlihat secara kasat
mata yang meliputi penyalahgunaan kekuasaan, konflik kepentingan, pemerasan,
nepotisme, tribalisme, penipuan dan korupsi.
Tipe korupsi
yang demikian sangat mempengaruhi perkembangan ekonomi suatu negara, terutama
negara berkembang. Dalam realita, di beberapa negara berkembang,
bantuan-bantuan yang diperoleh dari donor internasional berpotensi untuk
dikorupsi misalnya tidak selesainya atau tidak sesuainya proyek yang dilakukan
dengan dana dari donor internasional. Akibat korupsi, standar hidup masyarakat
di negara-negara berkembang juga sangat rendah.
2.
Bank Dunia (World Bank)
Setelah
tahun 1997, tingkat korupsi menjadi salah satu pertimbangan atau prakondisi
dari bank dunia (baik World Bank maupun IMF) memberikan pinjaman untuk
negara-negara berkembang. Untuk keperluan ini, World Bank Institute mengembangkan
Anti-Corruption Core Program yang bertujuan untuk menanamkan awareness
mengenai korupsi dan pelibatan masyarakat sipil untuk pemberantasan
korupsi, termasuk menyediakan sarana bagi negara-negara berkembang untuk
mengembangkan rencana aksi nasional untuk memberantas korupsi.
Program
yang dikembangkan oleh Bank Dunia didasarkan pada premis bahwa untuk
memberantas korupsi secara efektif, perlu dibangun tanggung jawab bersama
berbagai lembaga dalam masyarakat. Lembaga-lembaga yang harus dilibatkan
diantaranya pemerintah, parlemen, lembaga hukum, lembaga pelayanan umum, watchdog
institution seperti public-auditor dan lembaga atau komisi
pemberantasan korupsi, masyarakat sipil, media dan lembaga internasional
(Haarhuis : 2005).
Oleh
Bank Dunia, pendekatan untuk melaksanakan program anti korupsi dibedakan
menjadi 2 (dua) yakni (Haarhuis : 2005), pendekatan dari bawah (bottom-up) dan
pendekatan dari atas (top-down).
Pendekatan
dari bawah berangkat dari 5 (lima) asumsi yakni :
a.
Semakin luas pemahaman atau pandangan mengenai permasalahan yang
ada, semakin mudah untuk meningkatkan awareness untuk memberantas korupsi.
b.
Network atau jejaring yang baik yang dibuat oleh world bank akan
lebih membantu pemerintah dan masyarakat sipil (civil society). Untuk
itu perlu dikembangkan rasa saling percaya serta memberdayakan modal sosial (social
capital) dari masyarakat.
c.
Perlu penyediaan data mengenai efesiensi dan efektifitas pelayanan
pemerintah melalui corruption diagnostics. Dengan penyediaan data dan
pengetahuan yang luas mengenai problem korupsi, reformasi administratif-politis
dapat disusun secara lebih baik. Penyediaan data ini juga dapat membantu
masyarakat mengerti bahaya serta akibat buruk dari korupsi.
d.
Pelatihan-pelatihan yang diberikan, yang diambil dari toolbox yang
disediakan oleh world bank dapat membantu mempercepat pemberantasan
korupsi. Bahan-bahan yang ada dalam toolbox harus dipilih sendiri oleh
negara di mana diadakan pelatihan, karena harus menyesuaikan dengan kondisi masing-masing
negara.
e.
Rencana aksi pendahuluan yang dipilih atau dikonstruksi sendiri
oleh negara peserta, diharapkan akan memiliki trickle-down effect dalam
arti masyarakat mengetahui pentingnya pemberantasan korupsi.
Untuk pendekatan dari
atas atau top-down dilakukan dengan melaksanakan reformasi di segala
bidang baik hukum, politik, ekonomi maupun administrasi pemeritahan.
Corruption is a symptom
of a weak state and weak institution (Haarhuis
: 2005), sehingga harus ditangani dengan cara melakukan reformasi di segala
bidang. Pendidikan Anti Korupsi adalah salah satu strategi atau pendekatan bottom-up
yang dikembangkan oleh World Bank untuk meningkatkan kesadaran masyarakat
akan bahaya korupsi.
3.
OECD
(Organization for Economic Co-Operation and Development)
Setelah
ditemuinya kegagalan dalam kesepakatan pada konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) pada sekitar tahun 1970-an, OECD, didukung oleh PBB mengambil langkah
baru untuk memerangi korupsi di tingkat internasional. Sebuah badan pekerja
atau working group on Bribery in International Business Transaction didirikan
pada tahun 1989.
Pada
awalnya kegiatan-kegiatan yang dilakukan OECD hanya melakukan perbandingan atau
me-review konsep, hukum dan aturan di berbagai negara dalam berbagai
bidang tidak hanya hukum pidana, tetapi juga masalah perdata, keuangan dan
perdagangan serta hukum administrasi.
Pada tahun
1997, Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction disetujui. Tujuan dikeluarkannya instrumen ini adalah
untuk mencegah dan memberantas tindak pidana suap dalam transaksi bisnis
internasional. Konvensi ini menghimbau negara-negara untuk mengembangkan aturan
hukum, termasuk hukuman (pidana) bagi para pelaku serta kerjasama internasional
untuk mencegah tindak pidana suap dalam bidang ini.
Salah satu
kelemahan dari konvensi ini adalah hanya mengaturapa yang disebut dengan ’active
bribery’, ia tidak mengatur pihak yang pasif atau ’pihak penerima’ dalam
tindak pidana suap. Padahal dalam banyak kesempatan, justru mereka inilah yang
aktif berperan dan memaksa para penyuap untuk memberikan sesuatu.
4.
Masyarakat Uni Eropa
Di
negara-negara Uni Eropa, gerakan pemberantasan korupsi secara internasional
dimulai pada sekitar tahun 1996. Tahun 1997, the Council of Europe Program
against Corruption menerima kesepakatan politik untuk memberantas korupsi
dengan menjadikan isu ini sebagai agenda prioritas.
Pemberantasan
ini dilakukan dengan pendekatan serta pengertian bahwa: karena korupsi
mempunyai banyak wajah dan merupakan masalah yang kompleks dan rumit, maka
pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi-disiplin; monitoring
yang efektif, dilakukan dengan kesungguhan dan komprehensif serta diperlukan
adanya fleksibilitas dalam penerapan hukum (de Vel and Csonka : 2002).
Pada tahun 1997, komisi
menteri-menteri negara-negara Eropa mengadopsi 20 Guiding Principles untuk
memberantas korupsi, dengan mengidentifikasi area-area yang rawan korupsi dan
meningkatkan cara-cara efektif dan strategi pemberantasannya.
Pada tahun 1998 dibentuk
GRECO atau the Group of States against Corruption yang bertujuan untuk
meningkatkan kapasitas negara anggota memberantas korupsi. Selanjutnya
negara-negara Uni Eropa mengadopsi the Criminal Law Convention on
Corruption, the Civil Law Convention on Corruption dan Model Code of Conduct
for Public Officials.
B.
Gerakan
Lembaga Swadaya Internasional (INTERNATIONAL NGOs)
1.
Transparency
International
Transparency International (TI) adalah sebuah organisasi internasional non-pemerintah yang
memantau dan mempublikasikan hasil-hasil penelitian mengenai korupsi yang
dilakukan oleh korporasi dan korupsi politik di tingkat internasional. Setiap
tahunnya TI menerbitkan Indeks Persepsi Korupsi serta daftar perbandingan
korupsi di negara-negara di seluruh dunia.
TI
berkantor pusat di Berlin, Jerman, didirikan pada sekitar bulan Mei 1993
melalui inisiatif Peter Eigen, seorang mantan direktur regional Bank Dunia (World
Bank). Pada tahun 1995, TI mengembangkan Indeks Persepsi Korupsi (Corruption
Perception Index). CPI membuat peringkat tentang prevalensi korupsi di
berbagai negara, berdasarkan survei yang dilakukan terhadap pelaku bisnis dan
opini masyarakat yang diterbitkan setiap tahun dan dilakukan hampir di 200
negara di dunia. CPI disusun dengan memberi nilai atau score pada
negara-negara mengenai tingkat korupsi dengan range nilai antara 1-10. Nilai 10
adalah nilai yang tertinggi dan terbaik sedangkan semakin rendah nilainya,
negara dianggap atau ditempatkan sebagai negara-negara yang tinggi angka
korupsinya.
Berikut Indeks Persepsi
Korupsi (Corruption Perception Index) di Indonesia yang dikeluarkan oleh
Transparency International.
TABEL
6.1
POSISI
INDONESIA DALAM INDEKS PERSEPSI KORUPSI TI
TAHUN
|
SCORE CPI
|
NOMOR/ PERINGKAT
|
JUMLAH NEGARA YANG DISURVEY
|
2002
|
1.9
|
96
|
102
|
2003
|
1.9
|
122
|
133
|
2004
|
2.0
|
133
|
145
|
2005
|
2.2
|
137
|
158
|
2006
|
2.4
|
130
|
163
|
2007
|
2.3
|
143
|
179
|
2008
|
2.6
|
126
|
166
|
Dalam survey
ini, setiap tahun umumnya Indonesia menempati peringkat sangat buruk dan buruk.
Namun setelah tahun 2009, nilai rapor ini membaik sedikit demi sedikit. Tidak
jelas faktor apa yang memperbaiki nilai ini, namun dalam realita situasi dan
kondisi korupsi secara kualitatif justru terlihat semakin parah. Melihat
laporan survey TI, nampak bahwa peringkat Indonesia semakin tahun semakin
membaik. Namun cukup banyak pula masyarakat Indonesia dan masyarakat
internasional yang tidak terlalu yakin terhadap validitas survey tersebut.
Walaupun tidak benar, secara sinis di Indonesia ada gurauan (joke) di
kalangan penggiat anti-korupsi bahwa indeks persepsi korupsi di negara kita
dapat membaik karena lembaga yang melakukan survey telah disuap.
CPI yang
dikeluarkan oleh TI memang cukup banyak menuai kritik terutama karena dinilai
lemah dalam metodologi dan dianggap memperlakukan negara-negara berkembang
dengan tidak adil, serta mempermalukan pemerintah negara-negara yang disurvey.
Namun di lain pihak, TI juga banyak dipuji karena telah berupaya untuk
melakukan survey dalam menyoroti korupsi yang terjadi di banyak negara.
Pada tahun 1999, TI
mulai menerbitkan Bribe Payer Index (BPI) yang memberi peringkat
negara-negara sesuai dengan prevalensi perusahaan-perusahaan multinasional yang
menawarkan suap. Misi utama TI adalah menciptakan perubahan menuju dunia yang
bebas korupsi. TI tidak secara aktif menginvestigasi kasus-kasus korupsi
individual, namun hanya menjadi fasilitator dalam memperjuangkan tata
pemerintahan yang baik di tingkat internasional. Hasil survey yang dilakukan
oleh Transparency International, karena diumumkan pada publik, diharapkan dapat
berdampak pada peningkatan kesadaran masyarakat terhadap bahaya korupsi.
2.
TIRI (Making
Integrity Work)
TIRI
(Making Integrity Work) adalah sebuah organisasi independen
internasional non-pemerintah yang memiliki head-office di London, United
Kingdom dan memiliki kantor perwakilan di beberapa negara termasuk Jakarta.
TIRI didirikan dengan keyakinan bahwa dengan integritas, kesempatan besar untuk
perbaikan dalam pembangunan berkelanjutan dan merata di seluruh dunia akan
dapat tercapai.
Misi
dariTIRI adalah memberikan kontribusi terhadap pembangunan yang adil dan
berkelanjutan dengan mendukung pengembangan integritas di seluruh dunia. TIRI
berperan sebagai katalis dan inkubator untuk inovasi baru dan pengembangan
jaringan.
Organisasi
ini bekerja dengan pemerintah, kalangan bisnis, akademisi dan masyarakat sipil,
melakukan sharing keahlian dan wawasan untuk mengembangkan pengetahuan dan
keterampilan praktis yang diperlukan untuk mengatasi korupsi dan mempromosikan
integritas.
TIRI
memfokuskan perhatiannya pada pencarian hubungan sebab akibat antara kemiskinan
dan tata pemerintahan yang buruk. Selain di Jakarta, TIRI memiliki kantor
perwakilan di Jerusalem, dan Ramallah, juga memiliki pekerja tetap yang
berkedudukan di Amman, Bishkek, Nairobi and Yerevan.
Salah satu program yang
dilakukan TIRI adalah dengan membuat jejaring dengan universitas untuk
mengembangkan kurikulum Pendidikan Integritas dan/atau Pendidikan Anti Korupsi
di perguruan tinggi. Jaringan ini di Indonesia disingkat dengan nama I-IEN yang
kepanjangannya adalah Indonesian-Integrity Education Network. TIRI
berkeyakinan bahwa dengan mengembangkan kurikulum Pendidikan Integritas
dan/atau Pendidikan Anti Korupsi, mahasiswa dapat mengetahui bahaya laten
korupsi bagi masa depan bangsa.
C. Instrumen Internasional Pencegahan Korupsi
1.
United Nations Convention against
Corruption (UNCAC).
Salah satu
instrumen internasional yang sangat penting dalam rangka pencegahan dan
pemberantasan korupsi adalah United Nations Convention against Corruption yang
telah ditandatangani oleh lebih dari 140 negara. Penandatanganan pertama kali
dilakukan di konvensi internasional yang diselenggarakan di Mérida, Yucatán,
Mexico, pada tanggal 31 Oktober 2003.
Beberapa hal
penting yang diatur dalam konvensi adalah :
a.
Masalah pencegahan
Tindak pidana
korupsi dapat diberantas melalui Badan Peradilan. Salah satu hal yang terpenting dan utama adalah masalah pencegahan
korupsi. Bab yang terpenting dalam konvensi didedikasikan untuk pencegahan
korupsi dengan sektor publik maupun sektor privat (swasta). Salah satunya
dengan mengembangkan model kebijakan preventif seperti :
1)
Pembentukan badan anti-korupsidanpeningkatan
transparansi dalam pembiayaan kampanye untuk pemilu dan partai politik;
2)
Promosi terhadap efisiensi dan transparansi pelayanan publik;
3)
Rekrutmen atau penerimaan pelayan publik (pegawai negeri)
dilakukan berdasarkan prestasi;
4)
Adanya kode etik yang ditujukan bagi pelayan publik (pegawai
negeri) dan mereka harus tunduk pada kode etik tsb.;
5)
Transparansi dan akuntabilitas keuangan publik;
6)
Penerapan tindakan indisipliner dan pidana bagi pegawai negeri
yang korupsi.
7)
Dibuatnya persyaratan-persyaratan khusus terutama pada sektor
publik yang sangat rawan seperti badan peradilan dan sektor pengadaan publik;
8)
Promosi dan pemberlakuan standar pelayanan publik;
9)
Untuk pencegahan korupsi yang efektif, perlu upaya dan keikutsertaan
dari seluruh komponen masyarakat;
10)
Seruan kepada negara-negara untuk secara aktif mempromosikan
keterlibatan organisasi non-pemerintah (lsm/ngos) yang berbasis masyarakat,
serta unsur-unsur lain dari civil society;
11) Peningkatkan kesadaran masyarakat (public awareness) terhadap
korupsi termasuk dampak buruk korupsi serta hal-hal yang dapat dilakukan oleh
masyarakat yang mengetahui telah terjadi tp korupsi.
b.
Kriminalisasi
Hal penting
lain yang diatur dalam konvensi adalah mengenai kewajiban negara untuk mengkriminalisasi
berbagai perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi
termasuk mengembangkan peraturan perundang-undangan yang dapat memberikan
hukuman (pidana) untuk berbagai tindak pidana korupsi.
Hal ini
ditujukan untuk negara-negara yang belum mengembangkan aturan ini dalam hukum
domestik di negaranya. Perbuatan yang dikriminalisasi tidak terbatas hanya pada
tindak pidana penyuapan dan penggelapan dana publik, tetapi juga dalam bidang
perdagangan, termasuk penyembunyian dan pencucian uang (money laundring) hasil
korupsi. Konvensi juga menitikberatkan pada kriminalisasi korupsi yang terjadi
di sektor swasta.
c.
Kerjasama
internasional
Kerjasama internasional dalam rangka pemberantasan korupsi adalah
salah satu hal yang diatur dalam konvensi. Negara-negara yang menandatangani
konvensi ini bersepakat untuk bekerja sama dengan satu sama lain dalam setiap
langkah pemberantasan korupsi, termasuk melakukan pencegahan, investigasi dan
melakukan penuntutan terhadap pelaku korupsi.
Negara-negara yang menandatangani Konvensi juga bersepakat untuk
memberikan bantuan hukum timbal balik dalam mengumpulkan bukti untuk digunakan
di pengadilan serta untuk mengekstradisi pelanggar. Negara-negara juga
diharuskan untuk melakukan langkah-langkah yang akan mendukung penelusuran,
penyitaan dan pembekuan hasil tindak pidana korupsi.
d.
Pengembalian aset-aset hasil korupsi.
Salah satu prinsip
dasar dalam konvensi adalah kerjasama dalam pengembalian aset-aset hasil
korupsi terutama yang dilarikan dan disimpan di negara lain. Hal ini merupakan
isu penting bagi negara-negara berkembang yang tingkat korupsinya sangat
tinggi. Kekayaan nasional yang telah dijarah oleh para koruptor harus dapat
dikembalikan karena untuk melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi, terutama di
negara-negara berkembang, diperlukan sumber daya serta modal yang sangat besar.
Modal ini dapat
diperoleh dengan pengembalian kekayaan negara yang diperoleh dari hasil
korupsi. Untuk itu negara-negara yang menandatangani konvensi harus menyediakan
aturan-aturan serta prosedur guna mengembalikan kekayaan tersebut, termasuk
aturan dan prosedur yang menyangkut hukum dan rahasia perbankan.
Berikut
beberapa konferensi internasional dalam konteks implementasi United Nations
Convention against Corruption (UNCAC) yang telah diselenggarakan dan
dihadiri oleh berbagai negara di dunia :
1)
The Conference of the States Parties to the United Nations
Convention against Corruption (Amman, 10-14 December 2006), the first
session.
2)
The
Conference of the States Parties to the United Nations Convention against
Corruption (Nusa Dua, Indonesia, 28 January-1 February 2008), the second
session.
3)
The
Conference of the States Parties to the United Nations Convention against
Corruption (Doha, 9-13 November 2009), the third session.
4)
Untuk
Conference of the States Parties to the United Nations Convention against
Corruption sesi ke-empat akan diselenggarakan di Marrakech, 24-28 October
2011.
2.
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction
Convention on Bribery of Foreign Public Official in International
Business Transaction adalah
sebuah konvensi internasional yang dipelopori oleh OECD. Konvensi Anti Suap ini
menetapkan standar-standar hukum yang mengikat (legally binding) negara-negara
peserta untuk mengkriminalisasi pejabat publik asing yang menerima suap (bribe)
dalam transaksi bisnis internasional.
Konvensi
ini juga memberikan standar-standar atau langkah-langkah yang terkait yang
harus dijalankan oleh negara perserta sehingga isi konvensi akan dijalankan
oleh negara-negara peserta secara efektif.
Convention on Bribery of
Foreign Public Official in International Business Transaction adalah konvensi internasional pertama dan satu-satunya instrumen
anti korupsi yang memfokuskan diri pada sisi ‘supply’ dari tindak pidana
suap. Ada 34 negara anggota OECD dan empat negara non-anggota yakni Argentina,
Brasil, Bulgaria dan Afrika Selatan yang telah meratifikasi dan mengadopsi
konvensi internasional ini.
D.
Pencegahan
KorupsiBelajar Dari Negara Lain
India
adalah salah satu negara demokratis yang dapat dianggap cukup sukses memerangi
korupsi. Meskipun korupsi masih cukup banyak ditemui, dari daftar peringkat
negara-negara yang disurvey oleh Transparency Internasional (TI),
India menempati ranking lebih baik daripada Indonesia.
Pada
tahun 2005, dari survey yang dilakukan oleh TI, 62% rakyat India percaya bahwa
korupsi benar-benar ada dan bahkan terasa dan dialami sendiri oleh masyarakat
yang di-survey. Di India, Polisi menduduki ranking pertama untuk lembaga yang
terkorup diikuti oleh Pengadilan dan Lembaga Pertanahan. Dari survey TI, pada
tahun 2007, India menempati peringkat 72 (sama kedudukannya dengan China dan
Brazil).
Pada
tahun yang sama, negara tetangga India seperti Srilangka menempati peringkat
94, Pakistan peringkat 138 dan Bangladesh peringkat 162. Pada tahun 2007
tersebut, Indonesia menempati nomor 143 bersama-sama dengan Gambia, Rusia dan
Togo dari 180 negara yang di-survey.
Peringkat
yang cukup buruk jika dibandingkan dengan India yang sama-sama negara
berkembang.Oleh Krishna K. Tummala dinyatakan bahwa secara teoretis korupsi
yang bersifat endemik banyak terjadi di negara yang masih berkembang atau Less
Developed Countries (LDCs) (Tummala : 2009) yang disebabkan karena beberapa
hal yakni :
It is theorized that
corruption is endemic in for various reasons: unequal access to, and
disproportionate distribution of wealth among the rich and the poor; public
employment as the only, or primary, source of income; fast changing norms and
the inability to correspond personal life patterns with public obligations and
expectations; access to power points accorded by state controls on many aspects
of private lives; poor, or absent, mechanisms to enforce anti-corruption laws;
general degradation of morality, or amoral life styles; lack of community
sense, and so on.
Dengan mendasarkan pada
pernyataan tersebut, Tummala dalam konteks India, memaparkan beberapa hal yang
menurutnya penting untuk dianalisis yang menyebabkan korupsi sulit untuk
diberantas (Tummala: 2009) yaitu :
Ada 2 (dua)
alasan mengapa seseorang melakukan korupsi, alasan tersebut adalah kebutuhan (need)
dan keserakahan (greed). Untuk menjawab alasan kebutuhan, maka salah
satu cara adalah dengan menaikkan gaji atau pendapatan pegawai pemerintah.
Namun cara demikian juga tidak terlalu efektif, karena menurutnya keserakahan
sudah diterima sebagai bagian dari kebiasaan masyarakat.
Menurutnya greed
is a part of prevailing cultural norms, and it becomes a habit when no stigma
is attached. Mengutip dari the Santhanam Committee ia menyatakan bahwa : in the
long run, the fight against corruption will succeed only to the extent to which
a favourable social climate is created.
Dengan
demikian iklim sosial untuk memberantas korupsi harus terus dikembangkan dengan
memberi stigma yang buruk pada korupsi atau perilaku koruptif.
1.
Materi hukum, peraturan perundang-undangan, regulasi atau
kebijakan negara cenderung berpotensi koruptif, sering tidak dijalankan atau
dijalankan dengan tebang pilih, dan dalam beberapa kasus hanya digunakan untuk
tujuan balas dendam. Peraturan perundang-undangan hanya sekedar menjadi huruf
mati yang tidak memiliki roh sama sekali.
2.
Minimnya role-models atau pemimpin yang dapat dijadikan
panutan dan kurangnya political will dari pemerintah untuk memerangi
korupsi.
3.
Kurangnya langkah-langkah konkret pemberantasan korupsi.
4.
Lambatnya mekanisme investigasi dan pemeriksaan pengadilan
sehingga diperlukan lembaga netral yang independen untuk memberantas korupsi.
5.
Salah satu
unsur yang krusial dalam pemberantasan korupsi adalah perilaku sosial yang
toleran terhadap korupsi. Sulit memang untuk memformulasi perilaku seperti
kejujuran dalam peraturan perundang-undangan. Kesulitan ini bertambah karena
sebanyak apapun berbagai perilaku diatur dalam undang-undang, tidak akan banyak
menolong selama masyarakat masih bersikap lunak dan toleran terhadap korupsi.
Kiranya kita
dapat belajar dari pemaparan tersebut, karena kondisi Indonesia dan India yang
sama-sama negara berkembang. Sulitnya, India telah berhasil menaikkan peringkat
negaranya sampai pada posisi yang cukup baik, sedangkan Indonesia, walaupun
berangsur-angsur membaik, namun peringkatnya masih terus berada pada
urut-urutan yang terbawah.
Untuk
selanjutnya Tummala menyatakan bahwa dengan melakukan pemberdayaan segenap
komponen masyarakat, India terus optimis untuk memberantas korupsi.
In modern India, poverty,
insufficiency and class conflicts are slowly giving way to a confident,
inclusive, empowered India. On the Transparency International’s Corruption
Index, India’s position has improved significantly, and hopefully will continue
to do so. The vigilance of our enlightened people will ensure this (Tummala :
2009).
Selain India,
salah satu lembaga pemberantasan korupsi yang cukup sukses memberantas korupsi
adalah Independent Commission Against Corruption (ICAC) di Hongkong.
Tony Kwok, mantan komisaris ICAC (semacam KPK di Hongkong), menyatakan bahwa
salah satu kunci sukses pemberantasan korupsi adalah adanya lembaga antikorupsi
yangberdedikasi, independen, dan bebas dari politisasi. Sebagaimana awal
kelahiran KPK, lembaga ICAC juga mendapat kecaman luas dari masyarakat di Hong
Kong.
Namun dengan
dedikasi luar biasa dan dengan melakukan kemitraan bersama masyarakat akhirnya
ICAC mampu melawan kejahatan korupsi secara signifikan. Faktor-faktor
keberhasilan yang dicapai oleh ICAC dalam melaksanakan misinya adalah sebagai
lembaga yang independen dia bertanggung jawab langsung pada kepala
pemerintahan. Hal ini menyebabkan ICAC bebas dari segala campur tangan pihak
manapun pada saat melakukan penyelidikan suatu kasus. Prinsipnya pada saat
lembaga ini mencurigai adanya dugaan korupsi maka langsung melaksanakan
tugasnya tanpa ragu atau takut (Nugroho : 2011).
ICAC memiliki
kewenangan investigasi luas, meliputi investigasi di sektor pemerintahan dan
swasta, memeriksa rekening bank, menyita dan menahan properti yang diduga hasil
dari korupsi, memeriksa saksi, menahan dokumen perjalanan tersangka melakukan
cegah tangkal agar tersangka tidak melarikan diri keluar negeri. ICAC merupakan
lembaga pertama di dunia yang merekam menggunakan video terhadap investigasi
semua tersangka korupsi. Strategi yang ditempuh ICAC Hongkong dalam memberantas
korupsi dijalankan melalui tiga cabang kegiatan, yaitu penyelidikan,
pencegahan, dan pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan masyarakat semakin
paham peran mereka bahwa keikutsertaan mereka dalam memerangi korupsi merupakan
kunci utama keberhasilan pemberantasan korupsi (Nugroho : 2011).
Sebenarnya
ada banyak kesamaan antara KPK dan ICAC di Hongkong. Perbedaannya adalah pada
sistem perekrutan pimpinan dan komisionernya. Dengan sistem perekrutan yang ada
saat ini, KPK menurut Hibnu Nugroho tidak mampu membebaskan diri dari
politisasi. Dengan perbedaan yang tipis ini, ditambah komitmen pemerintah yang
tidak kompak dalam memandang pentingnya pemberantasan korupsi, ternyata output-nya
sangat jauh berbeda.
Permasalahan
perekrutan komisioner KPK melalui fit and proper test di DPR membuka
kemungkinan masuknya kepentingan dan politisasi. Penjaringan melalui uji
kelayakan di DPR pada satu sisi diharapkan mampu menemukan sosok pejabat KPK
yang tidak mudah grogi berhadapan dengan anggota DPR, namun di sisi lain
munculnya lobi-lobi politik menjadi terbuka (Nugroho : 2011).
Kedua
pemerintah negara ini selama kurun waktu kurang lebih 50 tahun telah dapat
membuktikan pemberantasan korupsi dengan cara menghukum pelaku korupsi dengan
efektif tanpa memperhatikan status atau posisi seseorang. Di Indonesia, dari
pemeriksaan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) selama kurun
waktu 5 tahun, KPK telah 100% berhasil menghukum atau memberikanpidana pada
pelaku tindak pidana korupsi. Bila dibandingkan dalam kurun waktu 20 tahun,
Filipina dengan lembaga Ombudsman hanya berhasil menghukum segelintir pejabat
saja (Bhattarai: 2011).
E.
Arti
Penting Ratifikasi Konvensi Anti Korupsi Bagi Indonesia
Bangsa
Indonesia telah berupaya ikut aktif mengambil bagian dalam masyarakat
internasional untuk mencegah dan memberantas korupsi dengan menandatangani
Konvensi Anti Korupsi pada tanggal 18 Desember 2003. Pada tanggal 18 April
2006, Pemerintah Indonesia dengan persetujuan DPR telah meratifikasi konvensi
ini dengan mengesahkannya di dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2006, LN 32 Tahun
2006 tentang Pengesahan United Nations Convention against Corruption (UNCAC),
2003.
Pada
tanggal 21 Nopember 2007, dengan diikuti oleh 492 peserta dari 93 negara, di
Bali telah diselenggarakan konferensi tahunan kedua Asosiasi Internasional
Lembaga-Lembaga Anti Korupsi (the 2nd Anual Conference and General Meeting
of the International Association of Anti-Corruption Authorities/IAACA).
Dalam konferensi internasional ini, sebagai presiden konferensi, Jaksa Agung RI
diangkat menjadi executive member dari IAACA.
Dalam
konferensi ini, lobi IAACA digunakan untuk mempengaruhi resolusi negara pihak
peserta konferensi supaya memihak kepada upaya praktis dan konkrit dalam asset
recovery melalui StAR (Stolen Asset Recovery) initiative. Pada tanggal
28 Januari–1 Februari 2008, bertempat di Nusa Dua, Bali, Indonesia kembali
menjadi tuan rumah konferensi negara-negara peserta yang terikat UNCAC.
Dalam
konferensi ini, Indonesia berupaya mendorong pelaksanaan UNCAC terkait dengan
masalah mekanisme review, asset recovery dan technical assistance guna
mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia.Selaku tuan rumah, Indonesia
berupaya memberikan kontribusi secara langsung yang dapat diarahkan untuk
mendukung kepentingan Indonesia mengenai pengembalian aset, guna meningkatkan
kerjasama internasional dalam pemberantasan korupsi termasuk mengembalikan
hasil kejahatan (Supandji : 2009).
Ratifikasi
Konvensi Anti Korupsi merupakan petunjuk yang merupakan komitmen nasional untuk
meningkatkan citra bangsa Indonesia dalam percaturan politik internasional.
Dalam Penjelasan UU No. 7 Tahun 2006 ditunjukkan arti penting dari ratifikasi
Konvensi tersebut, yaitu:
1.
Untuk meningkatkan
kerja sama internasional khususnya dalam melacak, membekukan, menyita, dan
mengembalikan aset-aset hasil tindak pidana korupsiyang
ditempatkan di luar negeri;
2.
Meningkatkan
kerja sama internasional dalam mewujudkan tata pemerintahan yang baik;
3.
Meningkatkan
kerja sama internasional dalam pelaksanaan perjanjian ekstradisi, bantuan hukum
timbal balik, penyerahan narapidana, pengalihan proses pidana, dan kerja sama
penegakan hukum;
4.
Mendorong
terjalinnya kerja sama teknis dan pertukaran informasi dalam pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di bawah payung kerja sama pembangunan
ekonomi dan bantuan teknis pada lingkup bilateral, regional, dan multilateral;
serta
5.
Perlunya
harmonisasi peraturan perundang-undangan nasional dalam pencegahan dan
pemberantasan korupsi.
Dengan telah
diratifikasinya konvensi internasional ini, maka pemerintah Indonesia memiliki
kewajiban untuk melaksanakan isi konvensi internasional ini dan melaporkan
perkembangan pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ada beberapa isu penting yang masih menjadi kendala dalam
pemberantasan korupsi di tingkat internasional. Isu tersebut misalnya mengenai
pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi, pertukaran tersangka, terdakwa
maupun narapidana tindak pidana korupsi dengan negara-negara lain, juga
kerjasama interpol untuk melacak pelaku dan mutual legal assistance di
antara negara-negara. Beberapa negara masih menjadi surga untuk menyimpan aset
hasil tindak pidana korupsi karena sulit dan kakunya pengaturan mengenai kerahasiaan
bank.
1.
Hukuman
Mati Untuk Koruptor Di China Ditembak Mati Di Depan Umum
Hukuman mati untuk Koruptor di China membuktikan jika
dengan penegakan hukuman mati tersebut jumlah koruptor berkurang drastis.
Di China dilakukan pemutihan semua koruptor yang
melakukan korupsi sebelum tahun 1998. Semua pejabat yang korupsi dianggap
bersih, tetapi begitu ada korupsi sehari sesudah pemutihan, pejabat itu
langsung dijatuhi hukuman mati. Hingga Oktober 2007, sebanyak 4.800 pejabat di
China dijatuhi hukuman mati.
2.
Di Amerika
Koruptor dihukum Mati dengan 100 Tembakan
Amerika saja sebagai negara yang dikenal sebagai
negara menghargai Hak Asasi Manusia (HAM) tetap memberikan hukuman mati untuk
koruptor. Hal tersebut dilakukan karena mereka sadar bahwa melindungi HAM warga
negaranya yang menjadi korban pelaku koruptor jauh lebih penting daripada harus
menghargai ham untuk para koruptor.
3.
Hukuman
Mati untuk Koruptor di Arab Saudi Dipenggal
Jika di Arab Saudi sudah jelas hukumnya karena hukum
disana memang sudah diberlakukan untuk mereka yang mencuri maka hukumanya
dipotong tanganya. Tapi khusus untuk Koruptor, bukan tangan yang dipotong akan
tetapi Leher dari koruptorlah yang akan dipotong.
4.
Hukuman
Mati untuk Koruptor di Malaysia Digantung
Di negara
tetangga kita Malaysia, mereka juga sudah lebih dulu tegas berani menghukum
mati dengan hukuman gantung untuk koruptor. Hal tersebut juga menjadikan pelaku
korupsi di Malaysia semakin berkurang jika dibandingkan dengan Indonesia.
G.
Contoh Kasus
Bank Century
Dalam laporan BPK ketika itu menunjukkan beberapa pelanggaran yang
dilakukan Bank Century sebelum diambil alih.BPK mengungkap sembilan temuan
pelanggaran yang terjadi. Bank Indonesia (BI) saat itu dipimpin oleh
Boediono–sekarang wapres–dianggap tidak tegas pada pelanggaran Bank Century
yang terjadi dalam kurun waktu 2005-2008.
BI, diduga mengubah persyaratan CAR. Dengan maksud, Bank Century bisa
mendapatkan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Kemudian, soal keputusan
Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK)–saat itu diketuai Menkeu Sri
Mulyani–dalam menangani Bank Century, tidak didasari data yang lengkap. Pada
saat penyerahan Bank Century, 21 November 2008, belum dibentuk berdasar UU.
Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) juga diduga melakukan rekayasa peraturan agar Bank Century
mendapat tambahan dana. Beberapa hal kemudian terungkap pula, saat Bank Century
dalam pengawasan khusus, ada penarikan dana sebesar Rp 938 miliar yang tentu
saja, menurut BPK, melanggar peraturan BI. Pendek kata, terungkap beberapa
praktik perbankan yang tidak sehat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberantasan
korupsi harus dilakukan dengan pendekatan multi-disiplin (multi-disciplinary
approach) dengan memberikan penekanan pada aspek dan dampak buruk dari
korupsi dalam berbagai level atau tingkat. Pemberantasan juga dilakukan dengan
mengeluarkan kebijakan pencegahan korupsi baik tingkat nasional maupun
internasional, mengembangkan cara atau praktek pencegahan serta memberikan
contoh pencegahan korupsi yang efektif di berbagai negara. Beragam rekomendasi
baik untuk pemerintah, aparat penegak hukum, parlemen (DPR), sektor privat dan
masyarakat sipil (civil-society) juga dikembangkan.Pelibatan lembaga-lembaga
donor yang potensial dapat membantu pemberantasan korupsi harus pula terus
ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Bhattarai,
Pranav, Fighting Corruption: Lessons from Other Countries, Republica
Opinion, May, 9, 2011 dalam http://archives.myrepublica.com/portal
/index.php?action =news_details&news_id=31075
De Vel, Guy
and Peter Csonka (2002), The Council of Europe Activities against
Corruption, dalam Cyrille Fijnaut and Leo Huberts ed., Corruption,
Integrity and Law Enforcement, The Hague : Kluwer Law International.
Haarhuis,
Carolien Klein (2005), Promoting Anti-Corruption of World Bank
Anti-Corruption Program in Seven African Counties (1999-2001), Wageningen:
Ponsen and Looijen b.v
Nugroho,
Hibnu (2011), Spirit Integralisasi untuk KPK, Wacana Nasional, dalam Suara
Merdeka, 8 Agustus 2011
Pope, Jeremy
(2003), Strategi Memberantas Korupsi : Elemen Sistem Integritas Nasional,
Buku Panduan Transparency Internasional 2002, Jakarta : Yayasan Obor
Supandji,
Hendraman (2009), Tindak Pidana Korupsi dan Penanggulangannya, Semarang:
Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Tenth United
Nations Congress on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders, Vienna, 10-17
April 2000, Item 4 of the Provisional Agenda, International Cooperation in
Combating Transnational Crime: New Challenges in the Twenty-first Century,
A/CONF.187/9
Tummala, Krishna K.
(2009), Combating Corruption: Lesson Out of India, International Public
Management Review.electronic Journal at http://www.ipmr.net, Volume
10.Issue 1.2009.©International Public Management Network
Internet:
http://www.transparency.org/
http://www.tiri.org/
http://www.oecd.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar